Kamis, 13 Desember 2012

PEMIMPIN YANG KAMI RINDUKAN.......................... UNTUK NEGRI KAMI...............

  • "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan kepada orang-orangyang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan
    dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Al-Israa: 16)

    Dalam skenario Allah tersebut jelas digambarkan, yang pertama menjadi biang kehancuranadalah para petinggi, pembesar, dan elite negara. Ibarat ikan, yang pertama kali busuk adalah bagian kepalanya, disusul kemudian bagian perut, baru bagian-bagian lainnya. Mutraf dalam ayat ini bisa berarti para pejabat tinggi, mulai dari eksekutifnya, misalnya presiden dan wakilnya,menteri dan para pembantunya, serta para pejabat eselon, gubernur, bupati, dan seterusnya.Bisa juga anggota legislatif,DPR, DPRD, DPD, dan MPR, juga ketua dan pengurus partai politik. Juga yudikatif, mulai dari para penyidik (polisi), jaksa, pengacara, dan hakim. Termasuk dalam kategori mutraf adalah para pengusaha nasional (konglomerat), pejabat militer, politisi, para pakar dan akademisi.Intinya adalah mereka yang melalui kewenangan, kekuasaan, dan pengaruhnya ikut memberi warna dan menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka baik, maka baiklah negeri yang dipimpinnya. Jika mereka rusak, maka hancurlah bangsa dan negaranya.Dalam pandangan al-Quran, kehancuran sebuah bangsa tidak hanya diukur dari ambruknya tatanan ekonomi dan politiknya semata, tapi ukuran pertamanya adalah ambruknya tatanan iman,taqwa, dan akhlaq mulia.

    Jika para mutraf-nya sudah mulai meninggalkan komitmen terhadap nilai-nilai ilahiyah, mulai memarginalkan syariat-Nya, maka tunggulah kehancuran bangsa ini. Senada dengan skenario al-Quran, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga mempunyai skenario kehancuran suatu bangsa sebagai berikut:
    "Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu bangsa maka dijadikanlah pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka memegang hukum dan
    peradilan, juga Allah jadikan harta kekayaan (asset bangsa) di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki kehancuran suatu bangsa maka Dia menjadikan
    pemimpin pemimpin mereka orang-orang yang berakhlaq rendah, dijadikan-Nya orang-orang culas menangani hukum dan peradilan, dan asset bangsa di tangan orang-orang yang kikir." (HR Ad-Dailami)

    Dalam kaitannya dengan ayat Quran dan hadits di atas, maka memilih pemimpin merupakan kunci pokok penyelamatan negeri ini. Jika ummat Islam salah dalam memilih pemimpinnya, makakesalahan itu harus dibayar mahal dengan hancurnya bangsa dan negara.

    Tidak tanggung-tanggung, pemimpin yang salah dipilih ini bisa berbuat nekat. Mereka tidak saja punya hobi menjual asset dan kekayaan negara kepada pihak asing, tapi mereka juga tega
    menjual rakyatnya sendiri. Tak segan-segan mereka memperdagangkan rakyatnya untuk melanggengkan kekuasaan, atau demi untuk menyenangkan pihak-pihak lain yang menjadi
    big-bossnya. Mewaspadai terjadinya peristiwa itu, Rasulullah Saw bersabda: "Khianat yang paling besar adalah jika seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya." (HR Ath-Thabrani)

    Dalam konteks sekarang, memperdagangkan rakyat itu bisa jadi berupa penangkapan terhadap para aktivis Islam yang oleh kekuatan Barat dianggap sebagai musuh yang harus diberangus dan
    dihabisi. Dalam kasus ini para aktivis adalah rakyat yang diperjualbelikan, sedang imbalannya adalah dukungan politik dan keuangan. Penjualnya adalah penguasa, sedang pembelinya adalah pihak-pihak asing yang tidak senang terhadap Islam dan ummatnya. "Penguasa" dalam tanda kutip tersebut bisa jadi beragama Islam, bahkan boleh jadi kelihatan sangat taat pada beberapa bagian ajaran dan ketentuan Islam. Akan tetapi pandangan dan sikap perilakunya, visi dan wawasan ke depannya jika diteliti secara cermat, bertolak belakang dengan Islam. Mereka adalah para pemimpim sekuler, yang memandang agama tidak lebih dari urusan pribadi orang perorang. Ruang lingkup agama, dalam pandangan mereka adalah masjid, mushalla, dan tempat-tempat pengajian. Di luar itu, tiada ruang untuk agama. Mereka mengisolasi agama sebagai urusan pribadi, dan ruangnya tidak boleh meluas hingga melampaui batas privasi. Ruang publik, termasuk Negara tidak boleh dicampuri agama. Negara harus steril dari ciri, simbol, dan atribut agama. Tidak jarang, untuk menguatkan pandangannya yang sekularistik diatas, mereka menukil ayat dan hadist. Mereka sangat licik memilih ayat dan hadist untuk menguatkan pandangannya.
    Tentang hal ini Allah sudah mengingatkan kaum Muslimin:
    "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang
    paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai
    kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertaqwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam itu tempat tinggal seburuk-buruknya." (Al-Baqarah: 204 - 206)

    Kaum Muslimin hendaknya waspada dan berusaha keras mencegah munculnya pemimpin sekuler. Yang punya tangan, gunakan tangan kekuasaan, pengaruh, dan wibawanya untuk mencegah terpilihnya pemimpin sekuler. Yang punya lisan, gunakan semua kekuatan media
    untuk menjelaskan bahayanya memilih pemimpin sekuler. Yang hanya bisa berdo'a, berdo'alah mudah-mudahan Allah membuka hati kaum Muslimin agar tidak memilih pemimpin sekuler, yang kelak hanya akan menjerumuskan manusia pada jalan kesesatan.
    Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin itu tidak hanya urusan dunia. Pertanggungjawabannya tidak hanya berhenti sampai di dunia ini saja. Pemimpin dalam pandangan Islam memiliki pengaruh besar, termasuk dalam urusan agama. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan agama rakyat itu tergantung pada agama rajanya. Jika raja atau para pemimpin itu mudah meninggalkan ajaran agama, maka pelan-pelan rakyat akan meninggalkan agamanya.
    Jika pemimpinnya sekuler, rakyatnya akan sekuler. Lagi-lagi terhadap hal ini, Rasulullah sudah memprediksi jauh sebelumnya. "Akan terlepas (kelak) ikatan (kekuatan) Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu ikatan
    maka orang-orang akan berpegangan pada yang lainnya. Yang pertama terlepas ialah hukum
    dan yang terakhir adalah shalat." (HR Ahmad dan Hakim)
    Hukum yang dimaksud dalam hadits di atas tidak lain adalah syari'ah, bukan hukum yang lain. Sebab di luar hukum syari'at adalah hukum jahiliyah yang justru dari awal harus dilepaskan, bahkan haram hukumnya bagi ummat Islam berpegangan pada ikatan hukum tersebut. "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Maaidah: 50) Jika dilihat dari sudut ini, maka para pemimpin sekulerlah yang pertamakali menentang habis-habisan masuknya syari'ah ke dalam sistem hukum negara. Melalui berbagai argumentasi dan alasan yang dicari-cari, mereka menolak dan menghilangkan hukum Islam, yang berarti melepas ikatan yang menjadi kekuatan Islam.Saat ini mungkin hanya ikatan hukum syari'at yang dilepaskan, besok atau lusa, mereka akan melepas ikatan yang lain, sampai pada akhirnya semua ikatan Islam lepas sama sekali. Inilah bencana yang mereka ciptakan saat ini. Naudzu billahi min dzaalik. Sebaliknya, jika raja atau pucuk pimpinannya itu beriman, bertaqwa, dan berakhlaqul karimah, maka rakyatnya akan
    mengikutinya.*
    Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat dan bangsa itu disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai kemajuan.
    Untuk bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan: Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.

    Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki delapan sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.

    1. Tawadhu.

    Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

    2. Menjalin Kerjasama.

    Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: "maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku". Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS 5:2).

    Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian,sehebar apapun dirinya. Karenanya Rasulullah Saw telah menunjukkan kepada kitabagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid diMadinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatupeperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.

    3. Mengharap Kritik dan Saran.

    Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: "Bila aku bertindak salah, betulkanlah".

    Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.

    4. Berkata dan Berbuat Yang Benar.

    Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt , hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.

    Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.

    5. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.

    Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: "Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah".

    Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

    6. Memberantas Kezaliman.

    Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: "Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah".

    7. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.

    Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: "Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku".

    Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS 4:59).

    Betapa penting bagi kita untuk memiliki pemimpin dengan akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini karena para pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di masyarakat jangan sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar